PADA hari Senin (14/11/2011), bertempat di Jakarta, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation (Casis)—Universiti Teknologi Malaysia, menyelenggarakan suatu seminar internasional bertajuk “SEJARAH DAN PERANAN ISLAM DALAM PEMBANGUNAN DAN KESATUAN BANGSA.”
Sejumlah pembicara dari Indonesia dan Malaysia yang hadir adalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud (Direktur Casis-UTM), yang bertindak sebagai keynote speaker. Prof. Dr. Muhammad Zainy Uthman (Casis), membahas masalah bertajuk: Tranformasi Minda Umat dalam Sejarah Dunia Melayu; Dr. Khalif Muammar (Casis) menyampaikan presentasi bertajuk: Kerangka Pemikiran Melayu Tradisional; Prof. Dr. Didin Saefuddin Buchori (Universitas Ibn Khaldun Bogor) menyampaikan presentasi dengan tajuk: Perlunya Pelurusan Pemahaman Sejarah. Pada sesi berikutnya, tampil beberapa sejarawan dan budayawan muda dari INSISTS, yaitu Tiar Anwar Bahtiar, Arif Wibowo, Susiyanto, dan Muhammad Isa Anshary.
Mereka membahas makalah-makalah yang bertemakan tentang Islam dan Budaya Sunda serta Budaya Jawa.
Dalam paparannya, Prof. Wan Mohd Nor berbicara tentang keberhasilan para pendakwah Islam yang mampu menjadikan Islam menjadi identitas peradaban Melayu. Persatuan Islam dan Melayu itu kemudian dalam sejarahnya dilembagakan menjadi identitas sosial, budaya, bahkan politik. Melayu adalah muslim. Jika seorang keluar dari Islam, maka dia tidak diakui lagi sebagai “Melayu”.
Dalam buku karyanya, Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia – yang diberi kata pengantar oleh Perdana Menteri Malaysia, Prof. Wan menyebutkan bahwa: “Negara yang maju ialah negara yang mensejahterakan dan membahagiakan rakyatnya dengan mencapai maqasid al-syariah. Itulah Negara (baldatun tayyibah) yang diredai Allah SWT. (QS Saba:15).”
Dalam buku yang disebarkan ke seluruh penjuru Malaysia ini, Prof. Wan Mohd Nor juga menguraikan konsep Negara ideal laksana “pohon yang kokoh dan rindang” menurut Imam al-Ghazali sebagaimaan dijelaskan dalam QS Ibrahim: 24-25.
Suatu Negara yang menerapkan konsep maqasid syariah, adalah yang menerapkan aqidah dan syariat Islam dengan tujuan: menjaga agama (hifdud-ddin), menjaga jiwa (hifdun-nafsi), menjaga akal (hifdul-aqli), menjaga keturunan (hifdun-nasli), dan menjaga harta (hifdul-maal).
Itu yang terjadi di Malasyia, yang meskipun jumlah kaum Muslim hanya sekitar 60 persen, tetapi menempatkan Islam sebagai “agama persekutuan”. Malaysia meletakkan dirinya sebagai kelanjutan dari peradaban Melayu Islam, sehingga secara politik tidak mempertentangkan antara Islam dan negara.
Bagaimana dengan Indonesia? Para pejabat Indonesia sering menyatakan, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, hingga kini, para pemimpin Negara yang Muslim yang banyak yang enggan untuk mengidentikkan Indonesia dengan Islam. Lihatlah, saat upacara pembukaan Sea Games, di Palembang, 11 November 2011! Simbol yang ditampilkan oleh delegasi Indonesia adalah Candi Borobudur, Komodo, dan Batik. Simbol Islam ditampilkan oleh Presiden SBY dalam sambutan pembukaan yang mengucapkan “Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh”, “Dengan memohon ridha Allah SWT” dan “Bismillahirrahmanirrahim”.
Dalam makalahnya yang berjudul “Mencari Wujud Kebudayaan Jawa”, Arif Wibowo – alumnus Magister Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta — mengungkapkan pembangunan dan eksistensi Candi Borobudur yang kontroversial.
Penggambaran seolah-solah bangunan-bangunan besar Candi Borobudur dan Prambanan menunjukkan kokohnya eksistensi agama Budha dan Hindu Jawa, tidaklah benar. Kedua bangunan itu lebih mencerminkan pertarungan antar elite kekuasaan. Dinasti Syailendra, kaki tangan Kerajaan Sriwijaya Palembang di Jawa membangun Borobudur. Para penguasa lokal yang beragama Hindu Syiwa memandang keluarga Syailendra sebagai penjajah asing yang baru saja menancapkan pengaruhnya.
Akhirnya pada tahun 856 M, Syailendra berhasil dikalahkan. Untuk mengenang kemenangan ini Rakai Pikatan membangun candi Prambanan, sebagai monumen kemenangan kekuasaan Hindu atas kekuasaan Budha. (Lihat, Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia (Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara, Jaman Prasejarah – Abad XVI) , (Yogyakarta : Media Abadi, 2009) hal. 318-323).
Yang paling menderita di era kebudayaan candi ini tentu saja rakyat jelata dari kasta Sudra dan Paria. Para petani, peternak dan pedagang kecil yang termasuk dalam kasta tersebut dipaksa untuk melakukan kerja bakti membangun candi yang berlangsung selama puluhan tahun. Akibatnya mata pencaharian pun terbengkalai, demikian juga kehidupan keluarganya.
Oleh karena itu, untuk menghindari kewajiban kerja bakti kepada para raja, penduduk memilih untuk eksodus keluar dari pusat-pusat pembangunan candi. (Ahmad Manshur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid. I, (Bandung : Salamadani, 2009) hal. 55.).
Hal ini juga dikuatkan oleh kajian dari Prof. Denys Lombard yang menyatakan bahwa penghentian pembangunan gedung-gedung batu berskala besar lebih banyak disebabkan karena kerajaan Budha dan Hindu mengalami kemunduran karena ditinggalkan rakyatnya sendiri yang lebih memilih eksodus ke kota-kota pelabuhan dan sekitarnya. (Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 2 : Jaringan Asia (terj). (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008) hal. 189).
Penguasa selanjutnya dari kalangan Hindu juga masih tidak membawa kenyamanan bagi masyarakat. Sebab pada masa selanjutnya, Hindu, Budha dan aneka kepercayaan lokal telah merubah wajah ajaran Hindu dan Budha pada bentuk baru yakni Syiwa Budha Bhairawa Tantra. Kepercayaan Siwa-Budha Bhairawa Tantra ini menghasilkan bentuk ritual yang disebut sebagai upacara Pancamakara atau lebih dikenal dengan upacara Ma-lima.
Menurut S. Wojowasito, bentuk upacara (ritual) dari sekte ini sangat mengerikan.. (Wojowasito,S, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, (Jakarta : Penerbit Siliwangi, 1952) hal. 148).
Ritual ma lima terdiri dari matsiya (memakan ikan gembung beracun), manuya (minum darah dan memakan daging gadis yang dijadikan kurban), madya (meminum minuman keras hingga mabuk), mutra (menari sampai ekstase), dan maithuna (ritual seks massal di tanah lapang yang disebut setra). (HM Rasyidi, Islam dan Kebatinan (Jakarta : Bulan Bintang, 1967) hal. 95).
Adityawarman, seorang Radja dari kerajaan Melayu (yang menjadi menantu raja Majapahit) menerima penasbihannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, menghadapkan kurban manusia yang menghamburkan bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat semerbak baunya. (Wojowasito, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, hal. 149).
Proses ini jelas tergambar dalam patung Adityawarman di Museum Nasional yang digambarkan tengah memegang cawan darah, gelas anggur dan ratusan tengkorak yang mengalungi hampir semua bagian tubuhnya.
Proses Islamisasi di Nusantara kemudian berhasil mengubah identitas agama dan budaya sebagian besar masyarakat Nusantara menjadi Islam. Peradaban Melayu mencakup seluruh wilayah di Nusantara, apa pun suku bangsanya. Identitas Islam inilah yang kemudian secara sistematis berusaha dipisahkan oleh kaum penjajah.
Salah satunya adalah dengan cara mengangkat dan membesarkan zaman pra-Islam. Itulah yang misalnya dilakukan dengan memitoskan kebesaran Majapahit.
Pada CAP lalu, sudah kita kutip, misalnya, suara dari Majalah Media Hindu (Oktober, 2011) yang menyatakan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”
Namun, suara-suara yang memitoskan kebesaran Majapahit (“Majapahitisme”) juga telah mendapatkan kritik dari kalangan kaum Hindu sendiri. Majalah Hindu, RADITYA, (edisi September 2008) menurunkan laporan utama yang mengkritik pengagungan Majapahit:
“Majapahitisme atau keterpesonaan terhadap Hindu di zaman majapahit tidaklah ideal. Pertama, karena pada masanya saja, masyarakat Hindu Majapahit gagal mempertahankan eksistensinya, gara-gara lebih banyak terlibat konflik internal bikinan elite Majapahit ketika itu. Siwa-Budha kala itu pun tidak bisa berperan banyak dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, tat twam asi dan sejenisnya. Majapahit selain berhasil menundukkan banyak daerah bawahan, juga sibuk perang saudara. Agama di dalam masyarakat seperti ini lebih menjadi bersifat gaib, eksklusif, hanya untuk berhubungan dengan dewa-dewa yang abstrak. Agama Siwa Budha meskipun sudah menjadi agama kerajaan tidak bisa diamalkan oleh elite di sana yang lebih dikuasai motif politik, motif perebutan kekuasaan. Agama gagal menginspirasi kehidupan sehari-hari tentang hal-hal lebih praktis menyangkut pola interaksi antarindividu…Jika Majapahit meninggalkan hal-hal pahit bagi penganut Hindu ketika itu, lantas apa enaknya mengenang hal-hal pahit?”
Jadi, menurut majalah RADITYA, impian untuk kembali ke Majapahit justru merugikan kaum Hindu sendiri. Analisis majalah Hindu ini menarik, sebab ini terkait dengan identitas nasional Indonesia yang sering dicitrakan identik dengan Hindu, Budha, dan Sansekerta. Jika ditampilkan Candi Hindu Prambanan dan Candi Budha Borobudur, maka itu dikatakan sebagai “identitas nasional”. Tapi, jika ditampilkan Masjid, maka seolah-olah dianggap bukan identitas nasional. Tengoklah ornamen-ornamen di Bandara Soekarno-Hatta! Bandara internasional itu dipenuhi dengan simbol-simbol Hindu-Budha yang dianggap sebagai symbol nasional. Tapi, tidak tampak simbol-simbol Islam, seperti kaligrafi ayat al-Quran, Masjid, dan sebagainya.
Masalah simbol atau identitas bagi suatu agama atau peradaban merupakan hal yang penting dan terkadang juga sensitif. Kaum Hindu di Bali melakukan protes ketika simbol-simbol dan identitas agamanya direbut oleh kaum Kristen. Sebab, menurut mereka, identitas Hindu dibajak untuk tujuan pengkristenan orang Hindu. Majalah Media Hindu, (edisi November 2011) menulis tentang masalah ini:
“Sebenarnya bahaya laten yang seolah tidak kelihatan tapi jauh lebih berbahaya adalah upaya-upaya sistematis orang-orang Kristen untuk menjadikan seluruh penduduk Bali menjadi pengikut Yesus (menjadi Kristen) dan saat ini pun masih berjalan terus. Penampilan fisik yang sama dengan pura, memakai upacara mirip “Hindu Bali” bisa menyesatkan orang-orang Bali beragama yang umumnya lugu dan toleran. Lebih lagi bila sebutan tuhan yang disembah di “Pura Gereja” ini dimirip-miripkan dengan Tuhan orang Hindu Bali, misalnya Sang Hyang Yesus, Sang Hyang Allah Aji, Ratu Biang Maria, misalnya.”
Tahun 2011 ini, Penerbit Paramita Surabaya, menerbitkan buku berjudul “Membedah Kasus Konversi Agama di Bali: Kronologi, Metode, Misi dan Alasan di Balik Tindakan Konversi Agama dari Hindu ke Kristen dan Katolik di Bali serta Pernik-pernik Keagamaan di Dunia”, karya Ni Kadek Surpi Aryadharma.
Penulis buku ini mengkritik penggunaan atribut kebudayaan Hindu Bali dalam aktivitas keagamaan Kristen: “Jika dicermati, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh umat Kristen di Bali adalah keliru. Sebab dalam aturan yang disepakati oleh lembaga-lembaga agama dan pemerintah telah ditentukan tidak boleh mengambil tatanan ibadah dari agama lain. Karena itu orang Kristen di Bali mestinya tidak mengambil simbol-simbol keagamaan Hindu.” (hal. 55). “…karena itu budaya agama Hindu itu 100% tidak boleh digunakan oleh orang Kristen.” (hal. 260).
Menurut buku ini, misi Kristen merupakan kejahatan agama yang harus diperangi. “…program misi dan konversi agama harus diperangi, dilawan dan diberantas habis sampai tuntas karena hal itu merupakan kejahatan atas nama agama.” (hal. 260). “Jadi, janganlah sapi-sapi Hindu ditangkapi oleh penggembala domba Kristen dan dimasukkan ke dalam kandang domba. Ingat, jika sapi-sapi yang ditangkapi itu suatu saat jengkel karena stress dan kemudian ngamuk dalam kandang domba, maka bukan saja domba-domba dalam kandang yang kacau-balau, bisa-bisa penggembalanya juga ikut diseruduk. Ingat peristiwa seorang misionaris dibunuh oleh convert-nya sendiri.” (hal. 258).
Salah satu yang diprotes kaum Hindu tadi adalah penggunaan istilah Hindu untuk menyebut Tuhan kaum Kristen, seperti “Sang Hyang Yesus”, “Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria”, dan lain-lain. Pemerintah Malaysia juga melarang kaum Kristen untuk menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka. Sebab, Allah adalah nama Tuhan yang resmi disebut dalam al-Quran. Allah – dalam al-Quran – memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diberi sifat sembarangan. Misalnya, Allah sendiri yang menjelaskan sifat-sifat-Nya, bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan; bahwa Dia tidak serupa dengan sesuatu pun.
Sementara itu, kitab kaum Kristen – baik Perjanjian Lama (bahasa aslinya Ibrani) dan Perjanjian Baru (bahasa aslinya Yunani Kuno) – memang tidak menyebut nama Tuhan mereka. Karena itulah, dalam tradisi Kristen, tidak ditemukan penyebutan nama Tuhan yang baku, sehingga mereka boleh menyebut Tuhan mereka, sesuai dengan tradisi atau kemauan mereka.
Pendeta A.H. Parhusip, dalam sebuah buku kecil yang ditulisnya, dengan judul Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh (2003), menulis tentang kebebasan menyebut nama Tuhan ini:
”Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis…! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi… Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing. Lihat Roma 2:14-15.”
Kaum Kristen menggunakan nama Tuhan sesuai dengan budaya setempat dan untuk tujuan tertentu, seperti tujuan misi Kristen. Di Barat mereka tidak menyebut nama Tuhan. Di wilayah Arab, kaum Kristen meminjam sebutan Tuhan yang biasa digunakan oleh masyarakat di sana, yaitu “Allah”. Dalam Penjelasan Lembaga Alkitab Indonesia, tertanggal 21 Januari 1999, ditandantangani oleh Sekretaris Umumnya, Supardan, kata Allah di Indonesia mulai digunakan sejak abad ke-16. Tentu, ini juga untuk tujuan Misi, karena kaum Muslim di wilayah ini sudah menyebut Tuhan dengan nama Allah, sesuai dengan yang tercantum dalam Kitab Suci al-Quran. Kaum Kristen yang menyebarkan agama di wilayah Nusantara adalah Kristen Barat yang tidak punya nama Tuhan.
Samin Sitohang dalam bukunya, Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab, menulis: “Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia menggunakan Allah untuk nama Sang Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang menyiapkan umat-Nya yang berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena mereka tidak perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta yang baru.”
Jika kaum Hindu memprotes penggunaan istilah “Sang Hyang Yesus” oleh kaum Kristen, apa umat Islam juga harus protes kepada kaum Kristen, karena kata Allah dipinjam oleh mereka? Wallahu a’lam bil-shawab. (Depok, 18 November 2011).
Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor