Oleh Hanin Mazaya
KAIRO (Arrahmah.com) - Pemberontakan yang berhasil menurunkan rezim diktator Ben Ali di Tunisia dan tampaknya, Mubarak akan menjadi pemimpin berikutnya yang harus pergi, lapor The Jakarta Globe.
Beberapa pengamat bahkan membandingkan gelombang demonstrasi di negeri-negeri Muslim dengan jatuhnya tirai besi dan runtuhnya komunisme di Eropa-peristiwa tak terduga sampai itu benar-benar terjadi-dan bahwa Tunisia dan Mesir adalah awal dari gelombang yang akan menyapu rezim-rezim otokratis terkenal lainnya di dunia Islam.
Shadi Hamid dari Pusat Brookings Doha mencatat, "penghalang ketakutan yang selama ini tersimpan oleh massa Muslim di bawah kontrol penguasa mereka telah rusak oleh pemberontakan Tunisia".
Setelah protes Tunisia kini di Mesir, Aljazair, Yordania dan Yaman memulai hal yang sama. Perkembangan ini menempatkan Barat dalam ketakutan.
Baik Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir telah selama bertahun-tahun menerima banyak dukungan dari negara Barat. Amerika mendukung Mesir miliaran dollar per tahun. Tunisia merupakan "poster boy" IMF.
Bahkan meskipun fakta bahwa banyak pendemo di Tunisa berada di bawah slogan "kebebasan dan demokrasi", negara-negara Barat cemas pendukung politik Islam akan datang pada kekuasaan.
Namun, dapat dikatakan bahwa pengambilalihan Islam masih merupakan hasil yang paling mungkin pada peristiwa di Tunisia, Mesir, Aljazair, Suriah, Yordania dan Yaman.
Karena meskipun pasukan Islam mungkin tampak sebagian besar tidak ada di protes saat ini, siapapun yang akrab dengan sentimen dan kecenderungan Islam selalu terasa kuat di antara rakyatnya.
Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa pemakaman Mohammed Bouazizi, pemuda Tunisia yang menempatkan dirinya diantara pendemo yang menentang Ben Ali dan dengan demikian memulai pemberontakan, menampilkan slogan seperti "martir ini dicintai Allah!"
Dan juga oleh kenyataan bahwa penyelenggara demonstrasi di Mesir pada Selasa lalu merasa diri mereka terpaksa tidak menunjukkan pandangan agama dan meminta kepada massa hanya membawa bendera Mesir dan tidak ada simbol-simbol agama.
Namun demikian, protes dimulai dengan sholat berjamaah di alun-alun di mana massa berkumpul.
Kenyataan bahwa umat Islam tidak menginginkan demokrasi dan sekuler, telah ditunjukkan oleh banyak jajak pendapat. Survei terbaru menunjukkan bahwa 85 persen Mesir dan 91 persen Indonesia mendukung kehadiran Islam dalam politik. 82 persen Mesir, 70 persen Yordania dan 40 persen Indonesia mendukung pengenalan hukum Islam seperti rajam untuk perzinahan dan hukuman mati karena murtad.
Oleh karena itu, adalah mungkin bahwa kata kebebasan bagi Muslim dipahami bukan sebagai permisif dan tidak menghormati hukum agama, seperti di Barat, melainkan untuk hidup menurut Islam. Sebagai contoh, Tunisia melarang penggunaan kerudung dan memenjarakan Muslimah yang mengenakannya.
Meskipun media Barat terdiam mengenai ini, kita harus mengakui pemberontakan populer di negara-negara Arab berhubungan dengan Islam. Sedangkan kaum revolusioner tidak menyerukan pembentukan sebuah negara Islam.
Sementara itu, diplomat dan pengamat Barat memprediksi bahwa ketidakstabilan yang berkembang di negeri-negeri Muslim ini akan memberikan tantangan baru bagi AS dan "Israel", yang dianggap "master" di Timur Tengah, ujar CBS.
"Mesir sekarang menyaksikan tsunami politik besar dengan konsekuensi untuk wilayah disekitarnya," seorang diplomat Arab dari negara Timur Tengah yang bertugas di Kairo sampai Agustus lalu memperingatkan. Berbicara kepada CBS News, diplomat ini memperingatkan "berbagai bahaya" setelah perubahan rezim di Mesir.
Ke depan, ia mencatat kemungkinan yang muncul adalah meningkatnya secara signifikan "militan" Islam di Mesir yang akan mengambil garis keras terhadap AS dan Israel untuk menjadikan Mesir simbol perubahan bagi orang lain untuk diikuti.
Sementara saat ini tampaknya Presiden Hosni Mubarak menentang kemungkinan, Mesir semakin terkunci dalam keadaan lumpuh yang memaksa banyak pengamat untuk mengundurkan diri untuk merubah rezim.
Sementara itu, kembalinya Mohamed El-Baradai untuk memimpin protes telah meningkatkan kemungkinan masa depan pemerintah akan dipimpin oleh seorang tokoh yang akan mengejar reformasi internal sambil mempertahankan hubungan dengan AS, "Israel" dan kekuatan luar lainnya.
Mubarak, dalam tiga dekade jabatannya sebagai presiden, telah seringkali menjadikan dirinya kekuatan untuk asing sebagai benteng paling efektif melawan "Islam garis keras".
Namun demikian, kemungkinan "Ikhwanul Muslimin" berkuasa sepertinya akan menjadi nyata.
"Ikhwanul Muslimin telah mengambil peran sebagai wakil kunci dari underdog Mesir. Dalam situasi seperti sekarang ini, rakyat memiliki kesempatan sempurna untuk didengar dari sebelumnya," ujar diplomat Arab lainnya yang bertugas hingga 2009 di Kairo. (haninmazaya/arrahmah.com)