Persinggungan Iman Monica Granath dengan Islam, dimulai sejak masa kanak-kanak. Tepatnya, setelah ia menyukai dongeng-dongeng Timur Tengah, termasuk kisah Aladin.”Saya selalu tertarik pada budaya yang berbeda, Saya suka bepergian dan suka belajar bahasa. Ketika saya masih kecil, saya gemar berdandan sebagai putri Arab seperti di kisah-kisah Aladin,” katanya.
Menginjak remaja, ia menyadari tak semua Arab adalah Muslim. Ia bersekolah dengan beberapa orang Arab Kristen, yang semuanya begitu bangga mengenakan kalung salib besar di lehernya. Ia tersadar, keimanan bukan soal keturunan. Keyakinan adalah soal hati. Granath kemudian belajar bahasa Arab di Universitas Stockholm. Di kampus ini, keyakinannya akan Islam semakin terpupuk. Di usia 20 tahun, ia memutuskan menjadi mualaf.Granath kemudian memutuskan menikah dengan seorang Muslim Palestina dari Gaza. Pasangan itu hidup di antara dua kota dan dia membuat blog tentang pengalaman mereka, baik dan buruk. Blog-nya menjadi terkenal di Timur Tengah.“Kami punya banyak perbedaan, menikah dengan seorang pria lain budaya membutuhkan banyak penyesuaian. Tentu saja kami berbagi beberapa ide umum tetapi apa yang ia nilai dan suka kadang-kadang sangat berbeda dari penilaian masing-masing,” katanya.Granath memakai jilbab sekarang. Meskipun penelitian terbaru dari Uppsala University yang menyatakan bahwa 50 persen publik Swedia ingin untuk melarang jilbab di sekolah dan tempat kerja, dia tidak merasa didiskriminasikan.Walau kadang, katanya, orang kerap menilainya berdasarkan pilihan berpakaian. “Kadang-kadang aku merasa orang mengira aku tidak pintar hanya karena mereka melihat cara saya berpakaian,” katanya.Bagi sebagaian orang, katanya, pilihan busananya merupakan bentuk kemunduran. “Tapi bagi saya itu merupakan pilihan gaya hidup sehat dan lebih spiritual, dengan kesadaran diri dan lingkungan. Saya memiliki pekerjaan sejak awal saya menjadi mualaf, tak masalah,” katanya.Ia bersyukur, mempunyai keluarga dan teman-teman yang berpikiran terbuka. “Mereka mungkin berpikir saya sedikit aneh tapi mereka masih memperlakukan saya seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Saya pikir itu juga karena saya sendiri memiliki kepribadian yang liberal dan berpikiran terbuka, saya telah membuat banyak kompromi ketika mengunjungi keluarga saya,” ujarnya.Ia mencontohkan fkelsibilitas yang dimaksudnya. Ia memang kerap menahan diri untuk tidak berjabat tangan dengan lawan jenis. “Tetapi dalam keluarga saya, saya memeluk mereka, karena itu adalah bagaimana kita melakukannya di sini. Tapi saya tidak merayakan Natal lagi. Itu yang membuat mereka sangat sedih.”Ketika ditanya apakah ia pernah merasa ingin menyerah ketika menjadi seorang Muslim, ia menjawabnya dengan lelucon, Saya menyerah ketika melihat orang-orang yang good looking.”Ia menjadi satu dari sekitar 5 ribu mualaf Swedia. Bersama Helena Benauoda, pimpinan organisasi Muslim Swedia, ia pernah dijuluki sebagai “wanita yang melawan arus”; di saat semua bergegas menjadi liberal dan sekuler, keduanya malah memilih Islam.Secara keseluruhan, populasi Swedia berjumlah 9 juta, 300 ribu hingga 400 ribunya beragama Islam.
Menginjak remaja, ia menyadari tak semua Arab adalah Muslim. Ia bersekolah dengan beberapa orang Arab Kristen, yang semuanya begitu bangga mengenakan kalung salib besar di lehernya. Ia tersadar, keimanan bukan soal keturunan. Keyakinan adalah soal hati.
Granath kemudian belajar bahasa Arab di Universitas Stockholm. Di kampus ini, keyakinannya akan Islam semakin terpupuk. Di usia 20 tahun, ia memutuskan menjadi mualaf.
Granath kemudian memutuskan menikah dengan seorang Muslim Palestina dari Gaza. Pasangan itu hidup di antara dua kota dan dia membuat blog tentang pengalaman mereka, baik dan buruk. Blog-nya menjadi terkenal di Timur Tengah.
“Kami punya banyak perbedaan, menikah dengan seorang pria lain budaya membutuhkan banyak penyesuaian. Tentu saja kami berbagi beberapa ide umum tetapi apa yang ia nilai dan suka kadang-kadang sangat berbeda dari penilaian masing-masing,” katanya.
Granath memakai jilbab sekarang. Meskipun penelitian terbaru dari Uppsala University yang menyatakan bahwa 50 persen publik Swedia ingin untuk melarang jilbab di sekolah dan tempat kerja, dia tidak merasa didiskriminasikan.
Walau kadang, katanya, orang kerap menilainya berdasarkan pilihan berpakaian. “Kadang-kadang aku merasa orang mengira aku tidak pintar hanya karena mereka melihat cara saya berpakaian,” katanya.
Bagi sebagaian orang, katanya, pilihan busananya merupakan bentuk kemunduran. “Tapi bagi saya itu merupakan pilihan gaya hidup sehat dan lebih spiritual, dengan kesadaran diri dan lingkungan. Saya memiliki pekerjaan sejak awal saya menjadi mualaf, tak masalah,” katanya.
Ia bersyukur, mempunyai keluarga dan teman-teman yang berpikiran terbuka. “Mereka mungkin berpikir saya sedikit aneh tapi mereka masih memperlakukan saya seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Saya pikir itu juga karena saya sendiri memiliki kepribadian yang liberal dan berpikiran terbuka, saya telah membuat banyak kompromi ketika mengunjungi keluarga saya,” ujarnya.
Ia mencontohkan fkelsibilitas yang dimaksudnya. Ia memang kerap menahan diri untuk tidak berjabat tangan dengan lawan jenis. “Tetapi dalam keluarga saya, saya memeluk mereka, karena itu adalah bagaimana kita melakukannya di sini. Tapi saya tidak merayakan Natal lagi. Itu yang membuat mereka sangat sedih.”
Ketika ditanya apakah ia pernah merasa ingin menyerah ketika menjadi seorang Muslim, ia menjawabnya dengan lelucon, Saya menyerah ketika melihat orang-orang yang good looking.”
Ia menjadi satu dari sekitar 5 ribu mualaf Swedia. Bersama Helena Benauoda, pimpinan organisasi Muslim Swedia, ia pernah dijuluki sebagai “wanita yang melawan arus”; di saat semua bergegas menjadi liberal dan sekuler, keduanya malah memilih Islam.
Secara keseluruhan, populasi Swedia berjumlah 9 juta, 300 ribu hingga 400 ribunya beragama Islam.